Meneladani Jejak Langkah Ulama Indonesia yang Mendunia

1. Indonesia

Cendekiawan dan tokoh-tokoh kenamaan dunia, jika pernah berkunjung atau singgah di Indonesia (istilah lebih awal adalah Nusantara), pasti memberi komentar dan penilaian yang baik tentang Indonesia. Hal ini, bisa ditelaah dari budayanya yang santun, murah senyum, mudah bergaul. Apalagi jika dikaitkan dengan keindahan alam dan sumber daya yang melimpah.

Luas Nusantara Indonesia, terbentang dari Barat, yakni Sabang (Provinsi NAD/Nanggro Aceh Darussalam) sampai Timur, yakni Merauke (Provinsi Papua). Sementara dari Utara adalah Kepulauan Talaud (Provinsi Sulawesi Utara), sedangkan dari Selatan adalah Pulau Rote (Provinsi Nusa Tenggara Timur).

Begitu luasnya Indonesia, sehingga bisa disamakan seperti luas Inggris melampauhi Eropa hingga Irak. Batas Barat Indonesia berada di Grenenwich London, sedangkan batas Timurnya berada di Baghdad Irak. Sementara, batas Utaranya di Jerman, sedangkan batas Selatannya berada di Aljazair.

Di wilayah seluas itu, matahari harus terbit sampai 3 kali. Akibatnya, menimbulkan perbedaan 3 waktu, yakni WIB (Waktu Indonesia Barat), WITA (Waktu Indonesia Tengah), dan WIT ((Waktu Indonesia Timur). Itu artinya matahari terbit lebih awal 2 jam dibanding WIB, dan 1 Jam dibanding WITA.

2. Umat Islam Indonesia

Indah nian sikap beragama bangsa Indonesia, terutama sikap umat Islam Indonesia sebagai mayoritas. Betapa tidak! Tahun 2020, diperkirakan jumlah penduduk Indonesia sekitar 273,5 juta, sementara pada tahun 2020 ini, jumlah umat Islamnya berjumlah berjumlah 229 juta jiwa, atau 87,2 %.

Itu artinya, Umat Islam mampu mengayomi saudaranya yang lain (baik Katolik, Kristen, Hindu, Budha, maupun Konghucu) yang berjumlah 12,8 % (sekitar 44,5 juta). Semuanya hidup rukun dan tenteram membentuk keindahan berperilaku sebagai bangsa Indonesia yang besar.

Kondisi tersebut, menjadi prestasi yang sangat membanggakan. Tata perilakunya, mencerminkan ketulusan hati dan kedamaian hidup. Keramahan dan toleransi, menjadi sikap dan perilaku umat beragama di Indonesia. Belum lagi, jika dikaji dari sudut pandang keragaman yang lain, misalnya suku bangsa ada 740; ada 500 etnik yang menggunakan lebih 250 bahasa, dan jumlah pulaunya + 12.504 (2870 sudah memiliki nama, sementara 9.634 yang tidak memiliki nama)

Bandingkan dengan negara-negara lain, baik di dataran Eropa, Asia, Timur Tengah maupun di Amerika. Agamanya boleh jadi sama, hanya berbeda sedikit sukunya; atau agama dan sukunya sama; bahkan ada yang agama, bahasa, suku, tanah airnya sama; mereka saling bertikai, berselisih sampai berperang tidak habis-habisnya, dan itu memakan waktu yang lama, bahkan tidak berhenti sampai kini.

Membandingkan kondisi tersebut, tentu kita sebagai umat Islam, harus mensyukuri keadaan di Indonesia, mari bersama anak bangsa yang lain, untuk saling mempererat persahabatan dan persaudaraan, baik antar agama (Ukhuwah Islamiyah), sesama anak bangsa (Ukhuwah Wathaniyah), maupun sesama warga dunia (Ukhuwah Basyariyah).

3. Ulama Indonesia untuk Dunia

Indonesia merdeka tidak lepas dari peran para Ulama Indonesia. Banyak sekali nama-nama yang dapat kita sodorkan dan menjadi pengingat tentang jejak mereka dalam memerdekakan Indonesia, yang sudah kita kenal, antara lain: Pangeran Diponegoro, Cut Nyak Dien, Pangeran Antasari, dan lain sebagainya.

Namun kali ini, yang akan disajikan adalah para Ulama Indonesia yang tidak hanya memberi sumbangsih besar untuk Indonesia, tetapi mewarnai wajah dunia sampai saat ini. Mereka itu, antara lain: Abu Abdul Mu’thi Nawawi alTanari al-Bantani,

a. Abu Abdul Mu’thi Nawawi al-Tanari al-Bantani

1. Riwayat Hidupnya

Syekh Nawawi Al-Bantani, atau nama lengkapnya Syekh Muhammad Nawawi bin Umar Al-Jawi Al-Bantani, lahir pada tahun 1813 M (1230 H) di Desa Tanara, Serang, Banten, yang saat itu masih bagian dari Kesultanan Banten. Ia berasal dari keluarga yang taat beragama, di mana ayahnya, Kiai Umar, adalah seorang ulama terkemuka di Banten.

2. Pendidikan dan Perjalanan Keilmuan

Sejak kecil, Nawawi menunjukkan kecerdasan luar biasa dalam memahami ilmu agama. Ia belajar dasar-dasar Islam dari ayahnya, lalu melanjutkan pendidikan ke berbagai pesantren di Jawa. Pada usia 15 tahun, ia memutuskan untuk pergi ke Mekah guna memperdalam ilmu agama.

Di Mekah, ia belajar kepada para ulama besar seperti:

  • Syekh Ahmad Khatib Al-Syambasi, seorang ulama besar asal Nusantara.

  • Syekh Abdul Hamid Daghestani, seorang ahli tafsir dan hadis.

  • Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah Al-Makki, ulama terkemuka dalam bidang fikih.

Kemampuannya yang luar biasa dalam berbagai disiplin ilmu membuatnya menjadi murid kesayangan para gurunya.

3. Karier dan Pengaruh Keilmuan

Setelah bertahun-tahun belajar di Mekah, Syekh Nawawi mulai mengajar dan menulis berbagai kitab yang menjadi rujukan di dunia Islam, terutama dalam bidang tafsir, fikih, tasawuf, dan akidah. Karya-karyanya banyak diajarkan di berbagai pesantren di Nusantara dan dunia Islam.

Beberapa kitab terkenal yang ditulisnya antara lain:

  • Tafsir Al-Munir (tafsir Al-Qur'an yang sangat berpengaruh)

  • Syarah Sullam Al-Munawraq (kitab ilmu logika)

  • Nihayatuz Zain (fikih mazhab Syafi'i)

  • Maraqil ‘Ubudiyyah (tasawuf dan akhlak)

Karena keilmuannya, ia dikenal sebagai Imam Nawawi dari Tanah Jawa dan diangkat sebagai pengajar tetap di Masjidil Haram. Murid-muridnya berasal dari berbagai belahan dunia, termasuk dari Nusantara yang kelak menjadi ulama besar, seperti KH. Hasyim Asy'ari (pendiri Nahdlatul Ulama) dan KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah).

4. Akhir Hayat dan Wafat

Syekh Nawawi Al-Bantani menghabiskan sebagian besar hidupnya di Mekah, mengajar dan menulis kitab-kitab Islam. Ia wafat pada tahun 1897 M (1314 H) dan dimakamkan di Ma'la, Mekah, tempat peristirahatan banyak ulama besar lainnya.

1. Latar Belakang dan Kelahiran

Syekh Nuruddin Ar-Raniri memiliki nama lengkap Nuruddin bin Ali bin Hasanji Al-Hamid Ar-Raniri. Ia lahir sekitar 1590 M di Ranir (sekarang Rander), Gujarat, India. Keluarganya berasal dari keturunan Arab Hadramaut, yang bermigrasi ke Gujarat dan kemudian menyebarkan ajaran Islam ke berbagai wilayah, termasuk Nusantara.

2. Pendidikan dan Perjalanan Keilmuan

Syekh Nuruddin mendapatkan pendidikan agama sejak kecil, terutama dalam bidang fikih, tasawuf, dan teologi Islam. Ia belajar dari berbagai ulama di Gujarat, India, dan Timur Tengah. Selain itu, ia juga dikenal memiliki keahlian dalam ilmu falak (astronomi), sejarah, dan sastra.

Pada awal abad ke-17, ia melakukan perjalanan ke Aceh, yang saat itu merupakan salah satu pusat keilmuan dan kekuatan politik Islam di Nusantara.

4. Karya-Karya dan Pemikiran

Syekh Nuruddin Ar-Raniri adalah ulama produktif yang menulis banyak kitab dalam berbagai bidang, terutama dalam bahasa Melayu dan Arab. Beberapa karyanya yang terkenal adalah:

  • "Bustan al-Salatin" – Kitab sejarah dan politik yang membahas kepemimpinan Islami.

  • "Asrar al-Insan fi Ma’rifat al-Ruh wa al-Rahman" – Kitab tentang ilmu tasawuf dan ruhani.

  • "Sirath al-Mustaqim" – Kitab fikih yang menjadi rujukan utama di Nusantara.

  • "Hujjatul Siddiq li Daf'il Zindiq" – Kitab yang membantah ajaran wujudiyah yang berkembang di Aceh saat itu.

5. Akhir Hayat dan Wafat

Setelah Sultan Iskandar Tsani wafat pada tahun 1641 M, Syekh Nuruddin kehilangan perlindungan politiknya. Akibat perbedaan pandangan dengan kelompok yang mendukung ajaran wujudiyah, ia akhirnya meninggalkan Aceh dan kembali ke Gujarat.

Ia wafat sekitar 1658 M, meninggalkan warisan besar dalam dunia Islam, khususnya di Nusantara.

6. Warisan dan Pengaruh

Pemikiran Syekh Nuruddin Ar-Raniri memiliki pengaruh besar dalam perkembangan Islam di Nusantara, khususnya dalam bidang fikih, tasawuf, dan sejarah. Karya-karyanya masih dipelajari di berbagai pesantren dan perguruan tinggi Islam hingga saat ini.

Ia dikenal sebagai ulama reformis, yang berusaha meluruskan ajaran Islam dan memperkuat mazhab Syafi’i serta tasawuf sunni di Nusantara. Keberaniannya dalam menegakkan kebenaran menjadikannya salah satu tokoh penting dalam sejarah keislaman Indonesia.

Nuruddin bin Ali bin Hasanji Al-Hamid Ar-Raniri.

3. Peran di Kesultanan Aceh

Sekembalinya ke Aceh pada 1661 M, Syekh Abdurrauf diangkat menjadi Mufti Kesultanan Aceh oleh Sultanah Safiatuddin Tajul Alam, yang saat itu memimpin Aceh. Ia menggantikan posisi Syekh Nuruddin Ar-Raniri sebagai ulama utama di istana.

Sebagai mufti, ia memainkan peran penting dalam menegakkan ajaran Ahlus Sunnah wal Jama'ah, khususnya dalam mazhab Syafi’i dan tasawuf yang moderat. Ia juga dikenal sebagai guru tarekat Syattariyah di Nusantara dan menyebarkan ajaran tasawufnya ke berbagai wilayah, termasuk Sumatera, Jawa, dan Kalimantan.

Syekh Abdurrauf As-Singkili

1. Latar Belakang dan Kelahiran

Syekh Abdurrauf As-Singkili memiliki nama lengkap Abdurrauf bin Ali Al-Jawi Al-Fansuri As-Singkili. Ia lahir sekitar 1615 M di Singkil, Aceh, yang saat itu merupakan bagian dari Kesultanan Aceh. Ia berasal dari keluarga ulama yang taat, dan sejak kecil sudah menunjukkan kecerdasan dalam ilmu agama.

2. Pendidikan dan Perjalanan Keilmuan

Sejak muda, Syekh Abdurrauf belajar agama di Aceh sebelum kemudian melakukan perjalanan ke Timur Tengah untuk menuntut ilmu lebih dalam. Ia menghabiskan waktu sekitar 19 tahun belajar di Mekah dan Madinah, berguru kepada ulama besar seperti:

  • Syekh Ahmad Al-Qusyasyi, seorang sufi besar dari Madinah.

  • Syekh Ibrahim Al-Kurani, ahli hadis dan tafsir.

Di sana, ia mendalami berbagai disiplin ilmu, seperti tasawuf, fikih, tafsir, hadis, dan bahasa Arab, sebelum kembali ke Aceh untuk menyebarkan ilmunya.

4. Karya-Karya dan Pemikiran

Syekh Abdurrauf As-Singkili adalah penulis produktif yang menghasilkan banyak karya dalam berbagai bidang, terutama fikih, tafsir, dan tasawuf. Beberapa karyanya yang terkenal antara lain:

  • "Tarjuman Al-Mustafid" – Tafsir Al-Qur’an pertama dalam bahasa Melayu.

  • "Umdat al-Muhtajin ila Suluk Maslak al-Mufridin" – Kitab tasawuf tentang tarekat Syattariyah.

  • "Mir’at al-Tullab" – Kitab fikih yang menjadi pedoman hukum Islam di Nusantara.

  • "Kifayat al-Muhtajin" – Kitab tasawuf yang mengajarkan keseimbangan antara syariat dan hakikat.

Pemikirannya dalam tasawuf lebih moderat dibandingkan dengan ajaran wujudiyah yang dianut oleh Hamzah Fansuri, dan ia berusaha menengahi perdebatan yang terjadi sebelumnya di Aceh.

5. Akhir Hayat dan Wafat

Syekh Abdurrauf As-Singkili wafat sekitar 1693 M di Aceh. Makamnya yang berada di Singkil hingga kini menjadi tempat ziarah bagi banyak orang yang menghormati warisannya.

6. Warisan dan Pengaruh

Sebagai ulama besar, Syekh Abdurrauf As-Singkili memiliki pengaruh besar dalam perkembangan Islam di Nusantara. Ia dikenal sebagai:

  • Pelopor tafsir Al-Qur’an dalam bahasa Melayu, yang menjadi rujukan bagi masyarakat Muslim Nusantara.

  • Penyebar tarekat Syattariyah yang berkembang di berbagai daerah, termasuk Sumatera dan Jawa.

  • Mufti utama Kesultanan Aceh, yang memberikan kontribusi besar dalam hukum Islam dan tata pemerintahan Islam di Nusantara.

Muhammad Yasin bin Muhammad Isa Al-Fadani

1. Latar Belakang dan Kelahiran

Syekh Yasin Al-Fadani memiliki nama lengkap Muhammad Yasin bin Muhammad Isa Al-Fadani. Ia lahir pada 27 Sya’ban 1335 H (1915 M) di Mekah, Arab Saudi, dari keluarga keturunan Hadramaut, Yaman, yang berasal dari Padang, Sumatera Barat, Indonesia.

Ayahnya, Syekh Muhammad Isa Al-Fadani, adalah seorang ulama besar yang berasal dari Padang dan merupakan salah satu pendiri Madrasah Al-Shaulatiyah di Mekah. Karena lahir dan besar di lingkungan keilmuan Islam, Syekh Yasin sejak kecil sudah akrab dengan ilmu agama.

2. Pendidikan dan Perjalanan Keilmuan

Syekh Yasin memulai pendidikannya di Madrasah Al-Shaulatiyah, salah satu institusi pendidikan Islam tertua di Mekah. Ia belajar langsung dari para ulama besar, di antaranya:

  • Syekh Umar Hamdan, ahli hadis.

  • Syekh Muhammad Ali Al-Maliki, ulama fikih dan hadis.

  • Syekh Hasan Al-Masysyath, guru besar hadis.

  • Syekh Muhammad Isa Al-Fadani (ayahnya sendiri).

Sejak muda, ia sudah dikenal sebagai hafiz Al-Qur’an dan memiliki wawasan luas dalam ilmu hadis, fikih, tafsir, dan bahasa Arab.

3. Karier dan Pengaruh Keilmuan

Setelah menyelesaikan pendidikannya, Syekh Yasin menjadi pengajar di Masjidil Haram dan Madrasah Darul Ulum, tempat ia mendidik banyak ulama dari berbagai negara, termasuk dari Indonesia, Malaysia, dan Thailand.

Ia dikenal sebagai Muhaddits Al-Hijaz atau Ahli Hadis dari Hijaz, karena penguasaannya yang luar biasa dalam ilmu hadis. Selain itu, ia juga mendapatkan gelar Musnid Ad-Dunya, yang berarti ulama yang memiliki sanad (rantai periwayatan) hadis paling luas di dunia.

4. Karya-Karya dan Pemikiran

Syekh Yasin Al-Fadani adalah penulis produktif, dengan lebih dari 100 kitab dalam berbagai disiplin ilmu. Beberapa karyanya yang terkenal antara lain:

  • "Al-Fawaid Al-Janiyyah" – Kitab tentang ilmu sanad hadis.

  • "Al-Ajwibah Al-Ghaliyah" – Kitab fikih dalam mazhab Syafi'i.

  • "Bughyatul Murtaqin" – Kitab mengenai hadis-hadis hukum.

  • "Masyariq al-Anwar" – Kitab biografi ulama dan sanad keilmuan.

Kitab-kitabnya menjadi rujukan penting di pesantren dan institusi Islam di dunia, termasuk di Indonesia.

5. Akhir Hayat dan Wafat

Syekh Yasin Al-Fadani wafat pada 28 Juli 1990 M (6 Muharram 1411 H) di Mekah, Arab Saudi, dan dimakamkan di Ma’la, tempat peristirahatan banyak ulama besar.

6. Warisan dan Pengaruh

Syekh Yasin Al-Fadani meninggalkan warisan besar dalam dunia Islam, terutama dalam bidang hadis dan fikih. Banyak ulama di Indonesia dan Asia Tenggara yang merupakan murid atau penerus sanad keilmuannya.

Ia dikenal sebagai penghubung sanad keilmuan antara Timur Tengah dan Nusantara, serta sebagai tokoh yang memperkuat mazhab Syafi’i di kawasan Asia Tenggara.