Menebarkan Islam dengan Santun dan Damai Melalui Dakwah, Khutbah, dan Tablig
1. Dakwah

a. Pengertian

Merujuk arti bahasa, kata “dakwah” merupakan mashdar (kata dasar) dari kata da’a yang mempunyai arti mengajak, memanggil, dan menyeru untuk hal tertentu. Orang yang melakukan pekerjaan dakwah disebut dai (laki-laki) dan daiyah (perempuan). Jika ditinjau dari makna istilah, ada beberapa pengertian dakwah, yaitu:

1. Setiap kegiatan yang mengajak, menyeru, dan memanggil orang atau kelompok orang untuk beriman kepada Allah Swt. sesuai dengan ajaran akidah (keimanan), syariah (hukum) dan akhlak Islam.

2. Kegiatan mengajak orang lain ke jalan Allah Swt. secara lisan atau perbuatan untuk kemudian diamalkan dalam kehidupan sehari-hari supaya mendapat kebahagiaan dunia dan akhirat.

3. Kegiatan mengajak orang-orang untuk mengamalkan ajaran Islam di dalam kehidupan sehari-hari.

4. Seruan atau ajakan kepada keinsafan atau usaha untuk mengubah agar keadaannya lebih baik lagi, baik sebagai pribadi maupun masyarakat.

Tersimpul dari pengertian tersebut, dakwah adalah mengajak orang lain untuk meyakini kebenaran ajaran Islam dan mengamalkan syariat Islam, agar tercapai pola hidupnya lebih baik, sehingga tercapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Dakwah tidak hanya berupa tablig, khutbah, dan majelis taklim. Dakwah cakupannya sangat luas, seluas kehidupan setiap muslim. Dakwah tidak mesti berbicara dan berceramah, tetapi setiap perbuatan seharihari yang mencerminkan tata nilai Islam, seperti berpakaian menutup aurat, tidak menyontek saat ujian, berbicara yang santun yang sopan, menghindari berita hoax, rajin bersilaturahmi, semua itu sudah bagian dari dakwah.

Keberhasilan dakwah sangat ditentukan oleh amaliah dan akhlakul karimah yang dipantulkan dari setiap muslim, apalagi yang berprofesi menjadi dai atau daiyah, tentu banyak faktor lain yang memengaruhi. Menjadi hal yang aneh, jika seorang dai tidak mengamalkan apa yang disampaikan, dan tidak satunya kata dengan perbuatan. Faktor tersebut yang kini banyak menjangkiti para dai, sehingga hasil dakwah tidak banyak memberi pengaruh positif dalam perbaikan kualitas keberagamaan masyarakat, apalagi jika dikaitkan dengan gejala munculnya para dai yang dibesarkan oleh media, misalnya para dai yang biasa dipanggil dengan sebutan ustad seleb (Perhatikan kandungan isi Q.S. ash-Shaf/61: 2-3).

B. Adab Berdakwah

Adab atau etika dakwah yang harus diperhatikan, antara lain:

1. Dakwah dengan cara hikmah, yaitu ucapan yang jelas, tegas, dan sikap yang bijaksana.

2. Dakwah menggunakan cara mauidzatul hasanah atau nasihat yang baik, yaitu cara-cara persuasif (damai dan menenteramkan, tanpa kekerasan) dan edukatif (memberikan pengajaran, i’tibar dan pelajaran hidup).

3. Dakwah dengan cara mujadalah, yaitu diskusi atau tukar pikiran yang berjalan secara dinamis dan santun dengan menghargai pendapat orang lain.

4. Dakwah melalui teladan yang baik (uswatun hasanah).

c. Tujuan dan Sasaran Dakwah

Sasaran dan tujuan dakwah--sejak zaman dulu (mulai Nabi Adam a.s sampai Nabi Muhammad Saw.), bahkan sampai berakhirnya kehidupan--memiliki sasaran yang jelas dan tetap, yakni sebagai berikut:

1. Sasaran Dakwah

a. Memberi semangat kepada manusia agar selalu meningkatkan kualitas dan kuantitas amalnya, dari baik menjadi terbaik, sudah banyak amalnya agar diperbanyak lagi, serta dari yang sekadar mengejar formalitas menuju ke substansi, sehingga profil mukmin yang sejati menjadi nyata adanya.

b. Mengubah jalan hidup yang tidak baik menjadi baik, serta yang menyimpang dari aturan Allah Swt. agar kembali ke jalan-Nya (melalui taubatan nashūhā), sehingga derajat, harkat, dan martabat manusia yang sudah terpuruk dan jatuh ke lembah nista dapat terangkat kembali, dan menjalani kehidupan secara benar.

Banyak contoh yang dapat diketengahkan, misalnya silih bergantinya umat sebelum Nabi Muhammad Saw. Kita kenal kaum Tsamud, kaum ‘Ad, umat Nabi Nuh a.s. dan umat Nabi Luth a.s. Mereka semua dimusnahkan akibat kemaksiatan dan dosa yang dilakukan, kita sebagai umat terakhir, hanya bisa mengambil i’tibar (pelajaran).

2. Tujuan Dakwah

Jika merujuk kepada Q.S. an-Nūr/24: 55, maka tujuan dakwah adalah menyeru dan mengajak segenap manusia agar konsisten/istiqamah dalam:

a. Beriman hanya kepada Allah Swt. dan tidak melakukan kemusyrikan (tauhid/akidah);

b. Menjadikan seluruh aktivitasnya hanya beribadah kepada Allah Swt. (ikhlas/syariah);

c. Mengerjakan amal shaleh dalam arti yang seluas-luasnya (amal ibadah/ muamalah);

d. Syarat dan Metode Dakwah

Banyak faktor yang memengaruhi keberhasilan dakwah. Faktor terpentingnya adalah inayah Allah Swt., di samping tentu saja dari kepribadian dan karakter dai sendiri, yang menghiasi pribadinya, melebar ke keluarga terdekat, lalu ke masyarakat luas. Itulah sebabnya, seorang dai jika ingin sukses harus memenuhi syarat seperti yang telah dilakukan oleh para rasul, yaitu sebagai berikut:

1. Satunya kata dengan perbuatan, sikap, perilaku dan tingkah lakunya benar-benar menjadi teladan (uswatun hasanah).

2. Memahami objek dakwahnya, sehingga dakwahnya tepat sasaran (Perhatikan isi kandungan Q.S. Ibrāhīm/14: 4), dan Hadis yang artinya: “Berbicaralah kepada manusia sesuai kadar akal mereka.”

3. Memiliki keberanian dan ketegasan, namun tetap bijak dan santun dalam berdakwah. Jalan yang dipilih adalah jalan tengah (tawasuth), damai, dan menenteramkan, meski tidak hilang sikap tegasnya

2. Khutbah

a. Pengertian

Merujuk makna bahasa, ada beberapa pengertian, yakni:

1. Kata khutbah (خطبة(, jika berasal dari kata mukhathabah (مخاطبة ( berarti “pembicaraan”;

2. Jika berasal dari kata “al-khatbu” (الخطب (berarti “perkara besar yang diperbincangkan”; dan

3. Khutbah dapat juga bermakna memberi peringatan, pembelajaran atau nasehat dalam kegiatan ibadah.

Sementara, jika ditinjau dari pengertian istilah, khutbah adalah: 1. Menyampaikan pesan tentang takwa sesuai dengan perintah Allah Swt. dengan syarat dan rukun tertentu; 2. Kegiatan nasihat yang disampaikan kepada kaum muslim dengan syarat dan rukun tertentu yang erat kaitannya dengan sah atau sunnahnya ibadah, sedangkan orang yang melakukan khutbah dikenal dengan istilah khatib.

Umumnya, pelaksanaan khutbah, jika dikaitkan dengan shalat, dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian, yaitu:

1. Khutbah yang dilakukan sebelum shalat, misalnya Khutbah Jum’at

2. Khutbah yang dilakukan sesudah shalat, misalnya Khutbah Shalat ’Idain (Idul Fitri dan Idul Adha), Shalat Khusuf (Gerhana Bulan) dan Shalat Kusuf (Gerhana Matahari), Shalat Istisqa’ (shalat minta hujan), dan khutbah saat Wukuf di Padang Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah).

3. Khutbah yang tidak berkaitan dengan shalat, misalnya Khutbah Nikah.

Di antara beragam jenis khutbah, ada hal yang terpenting untuk diketahui, yakni Khutbah Jum’at. Sebab, Khutbah Jumat memerlukan rukun yang harus dipenuhi agar ibadahnya menjadi sah, dan sesuai dengan aturan. Jika, salah satu rukun tidak terpenuhi, maka khutbahnya tidak sah. Sejalan dengan itu, Khutbah Jumat itu terdiri dari 2 bagian: Khutbah Pertama, dan Khutbah Kedua, yang di antara keduanya dipisahkan dengan duduk di antara dua khutbah.

b. Syarat Khatib

1. Islam yang sudah balig dan berakal sehat.

2. Mengetahui syarat, rukun, dan sunnah khutbah.

3. Suci dari hadats, baik badan maupun pakaian, serta auratnya tertutup.

4. Tartil dan fasih saat mengucapkan ayat Al-Qur’an dan Hadis.

5. Memiliki akhlak yang baik dan tidak tercela di mata masyarakat.

6. Suaranya jelas dan dapat dipahami oleh jamaah.

7. Berpenampilan rapi dan sopan.

c. Syarat-syarat dua khutbah

1. Khutbah Shalat Jum’at dilaksanakan sesudah masuk waktu Dhuhur. Selesai khutbah, dilanjutkan dengan shalat. Berbeda dengan Khutbah Shalat ‘Idain, Shalat Khusuf dan Shalat Kusuf, serta Shalat Istisqa yang dilaksanakan setelah selesai shalat. 2. Khutbah dilakukan dengan berdiri. Namun, jika tidak mampu, boleh dilakukan dengan duduk.

3. Duduk sebentar di antara dua khutbah.

4. Suara khutbah harus jelas dan dapat didengar oleh jamaah. Saat sekarang ini, pengurus masjid dapat menggunakan pengeras suara, televisi, atau monitor sehingga jamaah yang berada jauh atau di ruangan lain dapat melihat dan mendengar sang khatib.

5. Tertib, yakni dimulai khutbah pertama, dilanjutkan ke khutbah kedua.

d. Rukun Khutbah

1. Membaca Hamdalah pada kedua Khutbah.

2. Membaca Shalawat kepada Nabi Muhammad Saw.

3. Berwasiat tentang taqwa kepada diri dan jamaah.

4. Membaca satu atau beberapa ayat suci Al-Qur’an pada kedua khutbah. Ayat yang dibaca biasanya disesuaikan dengan topik yang akan disampaikan.

5. Berdoa pada khutbah kedua untuk memohon ampunan, kesejahteraan, dan keselamatan bagi kaum muslimin dan muslimat baik di dunia maupun akhirat.

3. Tablig

a. Pengertian

Menurut tinjauan bahasa, kata tablig berasal dari kata ballagha yang artinya menyampaikan atau memberitahukan pesan atau ceramah secara lisan atau perkataan. Makna lainnya adalah ceramah yang tidak disertai dengan rukun seperti khutbah. Bukan sekadar ceramah atau pesan biasa, tetapi sebuah ceramah yang sumbernya dari ajaran Islam yang disampaikan kepada satu orang atau banyak orang, agar mengamalkan isi pesan tersebut. Disebabkan fokusnya kepada pengamalan isi pesan, maka tablig harus dikemas agar menarik, tidak membosankan, tidak menggurui, tidak menyimpang dari substansi dan disampaikan secara sopan. Adapun pelaku penyampai ceramah atau pesan disebut mubalig (laki-laki) atau mubaligah (perempuan).

Namun, jika ditinjau dari pengertian istilah, tablig memiliki beberapa makna, antara lain:

1. Menyampaikan aturan Islam baik dari yang termaktub dalam Al-Qur’an maupun Hadis yang ditujukan kepada umat manusia.

2. Menyampaikan ajaran Islam kepada umat manusia untuk dijadikan pedoman agar memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. 3. Bagian dari dakwah islamiyah dalam bentuk khusus (lisan dan tulisan) untuk disampaikan kepada pihak lain.

4. Menyampaikan ‘pesan’ Allah Swt. secara lisan kepada satu orang atau lebih untuk diketahui dan dipahami, lalu diamalkan isinya.

b. Ketentuan Tablig

Ada beberapa ketentuan dan tara cata yang harus diperhatikan, terkait dengan pelaksanaan tablig, yaitu:

1. Ketentuan Tablig

a) Dilakukan dengan cara yang sopan, lemah lembut, tidak kasar, dan tidak merusak.

b) Menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh jamaah.

c) Mengedepankan musyawarah dan berdiskusi untuk memperoleh kesepakatan bersama.

d) Materi tablig yang disampaikan harus mempunyai rujukan yang kuat dan jelas sumbernya.

e) Disampaikan dengan penuh keikhlasan dan kesabaran, sejalan dengan situasi dan kondisi masyarakat, termasuk aspek psikologis dan sosiologis para jamaah.

f) Tidak menghasut orang lain untuk bermusuhan, berselisih, merusak, dan mencari-cari kesalahan orang lain.

2. Tata Cara

Tata cara/strategi tablig harus merujuk teladan Rasulullah Saw. dan para sahabatnya dalam melaksanakan dakwah atau tablig. Jika tidak, tablig yang bertujuan baik, malah berubah menjadikan citra Islam tidak baik, bahkan merusak citra, tentu semua itu harus menjadi kesadaran bersama. Sejarah Islam pun telah memberi teladan dalam bertablig, yaitu:

a) Mengajak orang terdekat terlebih dahulu, menuju profil muslim yang menyatu antara kata dan perbuatan, lalu mengajak kepada masyarakat luas. Sebab, keluarga merupakan kunci sukses, karena pihak lain akan melihat dulu pribadi dan keluarganya. Perhatikan isi kandungan Q.S. ash-Shaf/61: 2-3, dan Q.S. Luqmān/31: 12-19)!

b) Dekati pihak lain sesuai dengan kapasitas ilmu dan martabatnya. Karena itu, perlu pendekatan dan strategi yang beragam, apalagi kondisi saat ini yang serba cepat, praktis, dan canggih. Semua itu mengharuskan adanya perubahan dalam tablig (Q.S. alMuddatstsir/74}: 1-7).

c) Mengajak diri dan pihak lain untuk saling membantu agar tablig dapat terlaksana dengan baik, bertahap, berkesinambungan, menjangkau semua lapisan masyarakat, serta adanya segmen tablig yang jelas antara mubalig satu dengan yang lain, sehingga semua lapisan masyarakat terkena sasaran tablig (Q.S. al-Māidah/5}: 2).