Bab 2: Bukti Beriman: Memenuhi Janji, Mensyukuri Nikmat, Memelihara Lisan, Menutupi Aib Orang Laina
a. Pengertian
Salah satu bukti berimannnya seseorang adalah memenuhi janji, dan ia menjadi bagian dari akhlak terpuji yang seharusnya menghiasi pribadi setiap orang beriman. Adapun padanan kata Janji dalam bahasa Arab adalah ‘aqad’ Melalui kata ini, muncul kata yang sering kita dengar, yakni akad, akidah, atau akad nikah.
Menurut bahasa, akad berarti perjanjian atau ikatan yang kuat. Jadi memenuhi janji merupakan kewajiban dan menjadi tanda orang itu beriman atau tidak. Itu sebabnya, jika dikaitkan dengan makna bahasa, maka janji itu harus ditepati dan dipenuhi, dan kita diingatkan bahwa setiap janji akan diminta pertanggung jawaban, sebagaimana Firman Allah Swt.:
وَاَوْفُوْا بِالْعَهْدِۖ اِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْـُٔوْلًا
Artinya:….dan penuhilah janji, karena janji itu pasti diminta pertanggung– jawabannya. (Q.S. al-Isrā’/17: 34).
Perhatikan juga, isi dan kandungan Q.S. al-Māidah/5: 1 dan Q.S. an-Nisā’/4: 32).
Memenuhi janji menjadi faktor penting keberhasilan dan kesuksesan seseorang. Begitu juga sebaliknya. Coba amati di sekeliling kalian, orang yang selalu menepati janjinya, akan dipercaya semua orang; selalu dicari keberadaannya, karena jiwa amanahnya sudah membekas di hati banyak orang. Jika tidak ada modal, banyak menyodori untuk membantunya, dan masih banyak lagi keuntungan yang didapatkan. Belum lagi di akhirat nanti. Sebaliknya, orang tidak menepati janji, hidupnya sangat mengenaskan, tidak dipercaya orang. Boleh jadi, ada orang yang bisa mengelabui semua orang, tetapi si pelaku ini, tidak akan bisa kembali kepada orang-orang yang sudah ditipu, apalagi di zaman sekarang ini, dunia komunikasi begitu mudahnya dapat diakses, hancur sudah karirnya, dan sangat sulit mengembalikan reputasi yang sudah dibangun bertahun-tahun.
Itu sebabnya, jika ditinjau dari sudut pandang Islam, memenuhi janji harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Jika tidak! Seseorang itu, sudah terlibat dalam dosa. Sementara dosa sendiri, mengakibatkan suram dan terhalangnya kegiatan yang sudah dirancang. Artinya susah dan sulit mencapai keberhasilan. Lalu, kita diingatkan, bahwa salah satu tanda orang munafik adalah tidak amanah akan janji yang sudah diikrarkan.
b. Pembagian Janji
Janji terbagi menjadi 2 bagian, yaitu:
1. Janji kepada Allah Swt. Mungkin terasa ganjil dan ada yang bertanya, kapan saya berjanji kepada Allah Swt. Jawabannya, ternyata sudah dijelaskan di dalam Al-Qur’an, bahwa semua manusia tak terkecuali pernah melakukan penjanjian kepada Allah Swt. (di alam ruh/rahim) dan bentuk janjinya adalah nanti jika sudah di dunia akan mengimani Allah sebagai Rabb-Nya dan berjanji menjadi hamba-Nya yang taat.
2. Janji kepada sesama manusia. Janji kepada manusia adalah janji-janji yang sudah dibuat dan disepakati, baik sebagai pribadi maupun dengan lembaga atau pihak lain. Melalui janji janji inilah reputasi dan nama baik dipertaruhkan. Sekali atau beberapa kali janji tidak ditepati, tanggung sendiri akibatnya. Seperti paparan di muka, sulit sekali menumbuhkan kepercayaan, jika orang atau pihak lain sudah pernah dicederai atau dilukai, akibat janji yang tidak ditepati. Hanya Islam menggariskan, bahwa tidak semua janji itu ditunaikan. Janji yang dibuat di antara sesama manusia, seperti perdagangan, perniagaan, pernikahan dan sebagainya, silakan ditunaikan, asalkan tidak ada penjanjian yang bertentangan dengan syariat Islam. Seperti Sabda Rasulullah Saw.: “Setiap syarat (ikatan janji) yang tidak sesuai dengan Kitabullah, menjadi batil, meskipun seratus macam syarat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
c. Balasan Memenuhi Janji
Jika kalian melihat dengan cermat, keadaan di sekitar kalian, nampak jelas balasan orang yang memenuhi janji, dan orang yang tidak memenuhi janji. Orang yang berhasil, tentu memiliki prinsip hidup yang kuat dan kokoh, termasuk memenuhi janji. Sebaliknya, orang yang terpuruk dan terhempas, biasanya hidupnya kurang kuat dalam memegang prinsip. Saatnya kalian memilih yang mana? Al-Qur’an sering memberi tamtsil atau contoh untuk dijadikan pelajaran. Misalnya yang terjadi pada Bani Israil yang sering mengingkari janjinya, akibatnya ketidaktentraman hidup yang didapat, bahkan nilai-nilai keimanan diingkari juga, termasuk memusuhi dan dan membunuh sebagian para rasul yang diutus kepada mereka. Tentu kisah buruk ini, semestinya jangan dicontoh. Pahami lebih lanjut Q.S. al-An’ām/6: 152 dan Q.S ar-Ra’d/13: 20.
Memenuhi Janji
B. Bersyukur
a. Pengertian
Ada 2 kata dasar yang digunakan, yakni: Syukur dan Nikmat. Syukur, menurut bahasa berarti membuka atau menampakkan. Lawan dari syukur adalah kufur yang berarti menutup dan menyembunyikan. Perhatikan Q.S. Ibrahīm/14: 7, yaitu:
وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ ٧
(Ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku benar-benar sangat keras.”
Syukur merupakan bentuk keridhaan atau pengakuan terhadap rahmat Allah Swt. dengan setulus hati. Makna lainnya adalah pujian atau pengakuan terhadap segala nikmat Allah Swt. yang dibuktikan dengan kerendahan hati dan ketulusan menerimanya yang diwujudkan melalui ucapan, sikap, dan perilaku. Sementara makna nikmat, menurut bahasa adalah pemberian, anugerah, kebaikan, dan kesenangan yang diberikan manusia, baik berupa rezeki, harta, keluarga, maupun segala kesenangan yang lain. Seringkali kita diingatkan oleh khatib atau dai, bahwa nikmat terbesar itu adalah Iman dan Islam, termasuk juga nikmat sehat wal ‘afiat. Berdasarkan penjelasan tersebut, mensyukuri nikmat adalah berterima kasih kepada Allah Swt. atas segala nikmat yang telah dianugerahkan kepada kita. Caranya adalah menggunakan segala nikmat tersebut, sesuai dengan tujuan nikmat itu diberikan. Misalnya nikmat tangan, mata, dan kaki, semuanya digunakan untuk hal-hal yang benar menurut Allah Swt, bukan keinginan nafsu, syahwat, apalagi perbuatan maksiat.
Contoh tidak baik dilakukan umat Yahudi, yang dikisahkan oleh AlQur’an (misalnya dalam Q.S. al-Baqarah/2: 49, dan Q.S. al-Qashas/28: 4), sebagai umat yang paling kufur nikmat. Bersama Nabi Musa a.s. umat Yahudi menikmati begitu banyak nikmat, khususnya nikmat keberhasilan menghadapi Fir’aun dan bala tentaranya yang menindas dan membunuh setiap anak laki-lakinya yang baru lahir. Lalu Allah Swt. menyelamatkan mereka, namun semua itu diingkari, bahkan di satu masa, sampai berani membunuh nabi mereka. Melalui gambaran ini, kita sebagai umat Islam diingatkan, agar jangan menjadi umat yang kufur nikmat. Jadilah umat atau pribadi yang pandai mensyukuri nikmat (Q.S al-Baqarah/2: 152 dan 172). Sadar dan paham bahwa begitu banyak nikmat Allah Swt. yang sudah dianugerahkan kepada kita. Hanya sayangnya, seringkali kita memahami nikmat itu hanya berupa harta benda, uang, dan fasilitas mewah lainnnya, padahal yang termasuk nikmat adalah hidup sehat, keluarga bahagia, menjalankan shalat secara istiqamah, terhindar dari segala cobaan, terhalang melakukan dosa dan kemaksiatan.
b. Perwujudan Syukur
Tidak terhitung banyaknya nikmat yang sudah kita terima (Perhatikan isi kandungan Q.S. Ibrahīm/14: 34), lalu bagaimana caranya mewujudkan bahwa kita menjadi pribadi yang bersyukur? Jawabannya adalah syukur harus dilakukan dengan 3 hal, yakni: melalui lisan, hati, dan anggota badan. Pribadi yang bersyukur kepada Allah Swt., ditandai dengan pengakuan, kerelaan, dan kepuasan hati atas segala nikmat yang diterima, dilanjutan dengan lisan yang selalu mengucapkan syukur, misalnya banyak-banyak mengucapkan hamdalah dan kalimat-kalimat pujian yang disampaikan (Q.S. ad-Dhuhā/93: 11).
Setelah itu, semua nikmat tersebut diwujudkan dan difungsikan oleh anggota tubuhnya dalam ketaatan hanya kepada Allah Swt. Imam al-Ghazali membagi syukur itu, menjadi 3 bagian, yaitu: ilmu, hal (keadaan), dan amal (perbuatan). Melalui ilmunya, seseorang menyadari bahwa segala nikmat yang diterima itu semata-mata berasal dari Allah Swt. Keadaannya menyatakan kegembiraan. Selanjutnya, amal perbuatannya sesuai dan sejalan dengan fungsi nikmat tersebut diberikan. Tersimpul bahwa, wujud syukur harus menyatu antara hati, lisan dan perbuatan. Bukan bersyukur yang benar, jika sering mengucapkan hamdalah, lalu hatinya masih belum puas dengan yang diterima, atau masih iri dan dengki dengan harta benda milik tetangga. Begitu juga, jika kalian memiliki akal yangcerdas, tetapi kelebihan itu hanya disimpan sendiri, tidak disebarkan kepada teman kalian yang masih membutuhkan bantuan dan bimbingan.
Jadi, pribadi yang bersyukur itu, ditandai menyatunya hati, lisan dan perbuatan. Tidak boleh terpisah, atau terpotong-potong, sehingga jika kesatuan itu dapat dilakukan, muncul kepribadian muslim yang utuh, bukan pribadi pecah yang hanya sesuai, misalnya antara lisan dan perbuatan, melupakan hati. Begitu juga, hati dan lisan menyatu, tetapi perbuatannya tidak sesuai.
C. memelihara lisan
a. Pentingnya Menjaga Lidah
Lidah atau lisan bisa dikatakan sebagai bagian anggota tubuh yang sangat berharga. Betapa tidak! Melalui lisan yang tidak tertata, muncul pertengkaran dan perselisihan. Lisan juga, bisa membuat malapetaka yang besar, bahkan pembunuhan yang tidak terkira akibatnya. Selanjutnya, penggunaan lisan yang tidak terjaga, menjadikan perang yang menimbulkan korban jiwa mulai dari hitungan yang kecil, sampai mencapai ribuan, bahkan jutaan. Sebaliknya, melalui lisan juga muncul pelbagai macam kedamaian, kesejukan, cinta dan harapan yang tersemai di lubuk jiwa untuk satuan, puluhan, ribuan, jutaan bahkan milyaran umat manusia. Masih banyak manusia yang tetap memelihara harapan, meski kondisinya memprihatinkan dan mengenaskan, karena masih percaya kepada janji-janji yang disampaikan.
Misalnya, melalui lisan para nabi dan rasul, dalam bentuk wahyu atau shuhuf (shahifah), saat kini masih banyak dijumpai manusia beriman dengan segala plus minusnya. Karena itu, kita semua, termasuk sebagai pelajar harus tetap rajin belajar dan sungguh menuntut ilmu, meskipun di sekitar kalian muncul pelbagai macam berita dan informasi negatif tentang kondisi negara dan dunia yang semakin mengkhawatirkan, akibat problema yang semakin menumpuk, dunia yang memasuki jurang resesi, ditambah adanya penyakit yang masuk ke dalam kelompok pandemi (misalnya Covid 19).
Berlandaskan paparan tersebut, lidah dan lisan kita harus tetap dijaga dengan baik (Q.S. al-Ahzāb/33: 70-71). Tipis sekali perbedaan antara bahagia dan celaka serta senang susah, hanya dari penggunaan lidah. Apalagi jika dikaitkan dengan ajaran Islam yang sudah memberi rambu-rambu dalam penggunan lidah.
D. Menjaga Aib Orang Lain
a. Pengertian Aib
Aibadalah cela, cacat, nista, noda, perilaku hina, atau ada juga bermakna kiasan, yaitu: arang di muka. Biasanya digunakan dalam kalimat, bagaikan menaruh arang di muka. Melalui kalimat itu, yang bersangkutan sudah dibuka aibnya, sehingga sangat malunya, hancur lebur martabat dan nama baiknya, seakan-akan sudah runtuh hidupnya, disebabkan aibnya dibuka atau tersebar. Begitu beratnya keburukan akibat aib yang dibuka, maka siapa pun kita, jika mengetahui aib, maka hendaklah kita menutupi dan menyimpan rapatrapat aib tersebut, jangan sampai malah disebar ke khalayak ramai. Kenapa bisa begitu? Jawabannya jika kita sendiri mempunyai aib, inginnya aib itu disimpan rapat-rapat dan enggan jika aib itu tersiar.
Tidak ada satu pun manusia yang ingin aib dibuka. Aib adalah keburukan yang bersifat rahasia. Disebabkan sifatnya yang rahasia, biasanya hanya diketahui oleh yang bersangkutan, atau beberapa orang tertentu. Mayoritas orang, bahkan bisa dikatakan ‘orang gila’, ingin aibnya terus tersembunyi, tidak ada yang ingin aibnya terbuka atau disiarkan pihak lain
Setiap manusia, tampil dengan kelebihan dan kekurangan. Itu sifat dasar yang dimiliki setiap orang. Hal terbaik yang dapat dilakukan seseorang, sepanjang hidupnya adalah terus menemukan kelebihan, dan di saat yang bersamaan mampu mengurangi kekurangan dirinya. Di antara kekurangan itu, muncul aib-aib yang harus ditutupi, dikarenakan pelbagai macam sebab dan alasan.
b. Macam-Macam Aib
Jika ditinjau dari sifatnya, maka aib dibagi menjadi 2, yakni:
1. Aib Dzahir, yaitu: aib yang nampak dan dapat diketahui secara lahir, jika diperhatikan betul. Misalnya cacat pada barang-barang perdagangan, contohnya buah-buahan yang busuk, atau mebeler yang kelihatan cacatnya.
2. Aib Tersembunyi, yaitu aib yang tidak nampak, karena disembunyikan. Tidak terlihat, meski sudah diperhatikan betul-betul. Ambil contoh, beras yang sudah dicampur antara beras premium, super, dengan golongan yang biasa. Atau kacang-kacangan yang bagus atasnya, sementara yang bawah kondisinya kurang baik. Semuanya tidak kelihatan, jika tidak diurai atau dibuka semuanya.